Minggu, 17 Juni 2012

Petunjuk Pelaksanaan Pengamatan, Pemeriksaan Bukper, dan Penyidikan

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR KEP - 272/PJ/2002

TENTANG

PETUNJUK PELAKSANAAN PENGAMATAN, PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN, DAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
Menimbang :
bahwa sehubungan dengan adanya perubahan undang-undang perpajakan, untuk memberikan arahan kerja, keseragaman dan kelancaran proses tindakan, keseragaman penyelenggaraan administrasi, serta untuk memperjelas kaitan antara kegiatan Pengamatan, Pemeriksaan Bukti Permulaan, dan Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, dipandang perlu mengatur kembali Petunjuk Pelaksanaan Pengamatan, Pemeriksaan Bukti Permulaan, dan Penyidikan Tindak Pidana Di Bidang Perpajakan dengan keputusan Direktur Jenderal Pajak;
Mengingat :
  1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3984);
  2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209);
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 36, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3258) dan peraturan-peraturan pelaksanaannya;
  4. Fatwa Ketua Mahkamah Agung Nomor : KMA/114/IV/1990 tanggal 7 April 1990 tentang Penyerahan Hasil Penyidikan PPNS kepada Penuntut Umum;
  5. Surat Keputusan Menteri Kehakiman Nomor : M.14-PW.07.03 Tahun 1983 tanggal 10 Desember 1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana;
  6. Surat Keputusan Menteri Kehakiman Nomor : M.04.PW.07.03 Tahun 1984 tanggal 27 September 1984 tentang Wewenang Penyidik Pegawai Negeri Sipil;
  7. Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 545/KMK.04/2000 tanggal 22 Desember 2000 tentang Tata Cara Pemeriksaan di Bidang Perpajakan;
  8. Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 443/KMK.01/2001 tanggal 23 Juli 2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak, Kantor Pelayanan Pajak, Kantor Pelayanan Pajak Bumi Dan Bangunan, Kantor Pemeriksaan Dan Penyidikan Pajak, Dan Kantor Penyuluhan Dan Pengamatan Potensi Perpajakan;
  9. Surat Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-18/PJ/1995 tanggal 23 Pebruari 1995 tentang Tata Cara Penyegelan Dalam Rangka Pemeriksaan Di Bidang Perpajakan;
  10. Surat Keputusan Kepala Kepolisian Negara Nomor Pol. : Skep/1205/IX/2000 tanggal 11 September 2000 tentang Revisi Himpunan Juklak Dan Juknis Proses Penyidikan Tindak Pidana;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PENGAMATAN, PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN, DAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Keputusan ini, yang dimaksud dengan :
  1. Pengamatan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pengamat untuk mencocokkan data, informasi, laporan, dan atau pengaduan dengan fakta, dan membahas serta mengembangkan data, informasi, laporan, dan atau pengaduan tersebut untuk memperoleh petunjuk adanya dugaan telah terjadi tindak pidana di bidang perpajakan.
  2. Pengamat adalah Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang ditugaskan untuk melakukan Pengamatan.
  3. Laporan Pengamatan adalah laporan hasil pengamatan.
  4. Bukti Permulaan adalah keadaan, perbuatan, dan atau bukti-bukti lain baik berupa keterangan, tulisan, atau benda-benda yang dapat memberikan petunjuk adanya dugaan kuat bahwa sedang atau telah terjadi suatu tindak pidana di bidang perpajakan yang dilakukan oleh siapa saja yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.
  5. Pemeriksaan Bukti Permulaan adalah Pemeriksaan Pajak untuk mendapatkan bukti permulaan tentang adanya dugaan telah terjadinya tindak pidana di bidang perpajakan.
  6. Pemeriksa Bukti Permulaan adalah pemeriksa pajak yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk melakukan pemeriksaan bukti permulaan atas perintahnya.
  7. Laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan adalah laporan hasil pemeriksaan pajak yang memuat bukti permulaan tentang adanya dugaan kuat terjadinya tindak pidana di bidang perpajakan.
  8. Penyidik Pajak adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak, yang diberi wewenang khusus sebagai Penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  9. Penyidikan tidak pidana di bidang perpajakan adalah serangkaian tindakan Penyidik Pajak untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan yang terjadi dan guna menemukan Tersangkanya, serta mengetahui besarnya kerugian pada pendapatan negara.
  10. Bahan bukti adalah benda berupa buku, catatan, dokumen, atau benda lainnya yang menjadi dasar dan atau sarana pembukuan, pencatatan, atau pembuatan dokumen lainnya yang berhubungan langsung maupun tidak langsung dengan usaha atau pekerjaan wajib pajak atau orang lain untuk diduga melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.
  11. Penggeledahan adalah tindakan Penyidik Pajak untuk melakukan pemeriksaan tempat atau ruangan tertentu untuk mendapatkan bahan bukti dalam rangka tindakan Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.
  12. Penyitaan adalah serangkaian tindakan Penyidik Pajak untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya bahan bukti untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan peradilan.
  13. Barang bukti adalah bahan bukti yang telah disortir menurut macam, jenis, maupun jumlahnya, yang dapat digunakan sebagai sarana pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan peradilan.
  14. Pemeriksaan Tersangka atau saksi adalah serangkaian tindakan Penyidik Pajak untuk mendapatkan keterangan, kejelasan, dan kecocokan tersangka dan atau saksi dan atau barang bukti maupun tentang unsur-unsur tindak pidana di bidang perpajakan yang telah terjadi, sehingga kedudukan atau peranan seseorang, barang bukti, maupun unsur-unsur tindak pidana di bidang perpajakan menjadi jelas.
  15. Tersangka adalah setiap orang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan, patut diduga sebagai pelaku tindak pidana di bidang perpajakan.
  16. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan, termasuk pemungut pajak atau pemotong pajak tertentu.
  17. Badan adalah sekumpulan dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik Negara atau Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi yang sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap, dan bentuk badan lainnya.
  18. Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana di bidang perpajakan yang didengar sendiri, dilihat sendiri, dan atau dialami sendiri.
  19. Ahli adalah seseorang yang memiliki keahlian khusus yang dapat memberikan keterangan tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana di bidang perpajakan, guna kepentingan Penyidikan, penuntutan, dan peradilan.
  20. Pejabat yang berwenang adalah Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang menduduki jabatan struktural sebagai Direktur Pemeriksaan, Penyidikan Dan Penagihan Pajak atau Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pemeriksaan Dan Penyidikan Pajak yang mendapat wewenang dari Direktur Jenderal Pajak untuk menerbitkan dan menandatangani Surat Perintah Pengamatan, Surat Perintah Pemeriksaan Pajak, dan khusus untuk Surat Perintah Penyidikan ditandatangani oleh pejabat yang berwenang yang berstatus sebagai penyidik pegawai negeri sipil.
BAB II
PENGAMATAN
Pasal 2
(1)
Setiap data, informasi, laporan, dan atau pengaduan yang diterima atau ditemukan harus dianalisis dan dinilai terlebih dahulu mengenai mutu dan bobotnya untuk ditentukan perlu tidaknya dilakukan pengamatan.
(2)
Pengamatan dilaksanakan oleh Pengamat dengan Surat Perintah Pengamatan yang ditandatangani oleh pejabat yang berwenang berdasarkan hasil analisis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3)
Dalam melaksanakan Pengamatan, Pengamat harus berusaha memperoleh tambahan bahan bukti mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan data, informasi, laporan, dan atau pengaduan yang diperoleh.
Pasal 3
(1)
Dalam melaksanakan tugasnya, Pengamat dapat meminta keterangan dari pihak ketiga untuk menambah dan melengkapi data, informasi, laporan dan atau pengaduan yang telah ada.
(2)
Pengamat dilarang menjanjikan sesuatu kepada pemberi data atau informasi, pelapor, atau pengadu dan wajib merahasiakan identitas sumber data, informasi, pelapor, atau pengadu tersebut.
(3)
Pengamat tidak diperkenankan menyatakan identitasnya sebagai Pengamat apabila dalam melakukan Pengamatan mengadakan kontak langsung dengan yang diamati.
(4)
Hasil Pengamatan harus dilaporkan dalam Laporan Pengamatan.
(5)
Laporan Pengamatan dapat digunakan sebagai dasar untuk dilakukannya Pemeriksaan atau Pemeriksaan Bukti Permulaan.
BAB III
PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN
Pasal 4
(1)
Pemeriksaan Bukti Permulaan dapat dilaksanakan berdasarkan hasil analisis data, informasi, laporan, pengaduan, laporan pengamatan atau laporan pemeriksaan pajak.
(2)
Pemeriksaan Bukti Permulaan dilaksanakan oleh pemeriksa pajak dengan Surat Perintah Pemeriksaan Pajak yang ditandatangani oleh pejabat yang berwenang.
(3)
Pemeriksaan Bukti Permulaan dapat dilaksanakan baik untuk seluruh jenis pajak maupun untuk satu jenis pajak.
(4)
Pemeriksaan Bukti Permulaan harus diselesaikan dalam jangka waktu 2 (dua) bulan sejak tanggal Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu yang disesuaikan dengan keadaan.
(5)
Sepanjang tidak diatur tersendiri dalam Keputusan ini, tatacara Pemeriksaan Bukti Permulaan dilaksanakan dengan berpedoman pada Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 545/KMK.04/2000 tanggal 22 Desember 2000 tentang Tata Cara Pemeriksaan di Bidang Perpajakan dan Keputusan Direktur Jenderal Pajak tentang Pedoman Pelaksanaan Pemeriksaan Lengkap yang berlaku.
Pasal 5
Bahan bukti yang ditemukan dalam pemeriksaan bukti permulaan yang menimbulkan dugaan kuat tentang terjadinya tindak pidana di bidang perpajakan dan atau tindak pidana umum yang dilakukan oleh wajib pajak yang sedang diperiksa, dan atau oleh pihak lain yang berkaitan dengan wajib pajak, harus diamankan oleh Pemeriksa.
Pasal 6
(1)
Hasil Pemeriksaan Bukti Permulaan harus dilaporkan dalam Laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan.
(2)
Laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan berisi hal-hal yang meliputi posisi kasus, modus operandi, uraian perbuatan yang memenuhi unsur-unsur pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000, penghitungan besarnya kerugian pada pendapatan negara, rincian macam dan jenis bahan bukti yang diperoleh, nama dan identitas Tersangka atau para Tersangka, para Saksi, serta kesimpulan atau pendapat dan usul Pemeriksa.
(3)
Laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan disampaikan kepada Pejabat yang berwenang yang menerbitkan Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan.
(4)
Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diusulkan kepada Direktur Pemeriksaan, Penyidikan dan Penagihan Pajak untuk penentuan tindak lanjutnya.
(5)
Laporan bukti permulaan dapat digunakan sebagai dasar penerbitan surat ketetapan dan atau penyidikan pajak dan atau pembuatan laporan pengaduan adanya tindak pidana umum kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(6)
Laporan bukti permulaan yang mengandung unsur adanya tindak pidana umum akan diatur lebih lanjut dalam Petunjuk Teknis.
BAB IV
PENYIDIKAN
Pasal 7
(1)
Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan dilakukan oleh Penyidik Pajak berdasarkan Surat Perintah Penyidikan.
(2)
Saat dimulainya Penyidikan adalah pada saat disampaikannya Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan kepada Jaksa atau Penuntut Umum melalui Kepolisian Negara Republik Indonesia dan kepada Tersangka.
(3)
Penyidikan pajak dilakukan berdasarkan hasil pemeriksaan bukti permulaan.
Pasal 8
(1)
Dalam melakukan Penyidikan, Penyidik Pajak wajib memperhatikan asas-asas hukum yang berlaku, termasuk:
  1. Asas praduga tak bersalah, yaitu bahwa setiap orang yang disangka, dituntut, dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap;
  2. Asas persamaan di muka hukum, yaitu bahwa setiap orang mempunyai hak dan kewajiban yang sama dimuka hukum, tanpa ada perbedaan;
(2)
Pada tahap pemeriksaan dalam proses penyidikan, setiap Tersangka perkara tindak pidana di bidang perpajakan dapat didampingi penasehat hukumnya.
(3)
Dalam hal diperlukan penangkapan dan atau penahanan, dilakukan dengan bantuan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pasal 9
(1)
Dalam melakukan tugasnya, Penyidik Pajak harus berlandaskan pada undang-undang hukum acara pidana, hukum pidana dan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
(2)
Untuk melindungi bahan bukti yang ditemukan dalam proses penyidikan, Penyidik Pajak berwenang untuk melakukan tindakan penyegelan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
(3)
Dalam melakukan tugasnya :
  1. Penyidik Pajak sebagai penegak hukum wajib memelihara dan meningkatkan sikap terpuji sejalan dengan tugas, fungsi, wewenang, serta tanggung jawabnya;
  2. Penyidik Pajak wajib menunjukkan Tanda Pengenal Penyidik Pajak dan Surat Perintah Penyidikan pada saat melakukan Penyidikan;
  3. Penyidik Pajak dapat dibantu oleh petugas pajak lain atas tanggung jawabnya berdasarkan izin tertulis dari atasannya;
  4. Penyidik Pajak dalam setiap tindakan penyidikan wajib membuat laporan dan berita acara;
  5. Penyidik Pajak harus berpedoman pada kode etik yang berlaku.
Pasal 10
(1)
Instruksi untuk melakukan penyidikan pajak diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak berdasarkan Laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan.
(2)
Surat Perintah Penyidikan ditandatangani oleh Pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 20, berdasarkan Instruksi Penyidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 11
Penyidik Pajak wajib memberitahukan secara tertulis saat dimulainya Penyidikan dan menyampaikan hasil Penyidikannya kepada Jaksa atau Penuntut Umum melalui penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai ketentuan yang berlaku.
Pasal 12
(1)
Penyidik Pajak dalam melakukan penggeledahan dan atau penyitaan harus terlebih dahulu mendapat izin tertulis Ketua Pengadilan Negeri setempat dan harus berdasarkan Surat Perintah Penggeledahan dan atau Penyitaan dari pejabat yang berwenang selaku Penyidik.
(2)
Penyidik Pajak yang melakukan penggeledahan dan atau penyitaan harus membuat berita acara dalam waktu 2 (dua) hari setelah melakukan penggeledahan dan atau penyitaan, dan tindasannya disampaikan kepada pihak atau wakil atau kuasa atau pegawai dari pihak yang menguasai tempat yang digeledah dan atau bahan bukti yang disita.
(3)
Tindasan berita acara sebagaimana tersebut dalam ayat (2) yang dilengkapi daftar rincian bahan bukti yang disita diserahkan dengan bukti penerimaan.
(4)
Penggeledahan dan penyitaan yang dilakukan oleh Penyidik Pajak harus disaksikan sekurang-kurangnya oleh 2 (dua) orang saksi.
Pasal 13
Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak, apabila Penyidik Pajak harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, Penyidik Pajak dapat melakukan penggeledahan dan atau penyitaan atas benda-benda yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang perpajakan dengan kewajiban segera melaporkan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat guna memperoleh persetujuannya, selambat-lambatnya 2 (dua) hari setelah pelaksanaan penggeledahan dan atau penyitaan.
Pasal 14
Prosedur dan tatacara pengurusan barang bukti yang disita diatur lebih lanjut dalam Petunjuk Teknis Penyidikan.
Pasal 15
(1)
Pemanggilan tersangka atau saksi oleh Penyidik Pajak dalam rangka pemeriksaan untuk menambah atau melengkapi petunjuk dan bukti yang ada dilakukan dengan surat panggilan yang sah.
(2)
Surat panggilan harus sudah diterima oleh yang dipanggil selambat-lambatnya tiga hari sebelum tanggal hadir yang ditentukan.
(3)
Dalam hal seseorang yang dipanggil tidak ada ditempat atau menolak untuk menerima, surat panggilan tersebut dapat disampaikan kepada keluarganya atau Ketua Rukun Tetangga atau Ketua Rukun Warga atau Ketua Lingkungan atau Kepala Desa atau orang lain yang dapat menjamin bahwa surat panggilan tersebut akan disampaikan kepada yang bersangkutan, dengan disertai tanda terima.
(4)
Terhadap tersangka atau saksi yang tidak memenuhi panggilan tanpa alasan yang patut dan wajar, kepadanya diterbitkan dan diberikan surat panggilan kedua.
(5)
Dalam hal tersangka atau saksi yang dipanggil untuk kedua kalinya tetap tidak memenuhi panggilan tanpa alasan yang patut dan wajar atau tetap menolak untuk menerima dan menandatangani surat panggilan kedua, Penyidik Pajak dapat meminta bantuan Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk menghadirkan yang bersangkutan.
Pasal 16
(1)
Sebelum pemeriksaan terhadap tersangka dimulai, kepadanya diberitahukan hak tersangka untuk mendapatkan bantuan hukum dari penasihat hukumnya.
(2)
Penasehat hukum dapat mengikuti jalannya pemeriksaan pada saat Penyidik Pajak melakukan pemeriksaan terhadap tersangka dengan cara melihat atau mendengarkan pemeriksaan.
(3)
Tersangka atau Saksi yang diperiksa harus dalam keadaan sehat jasmani dan rohani.
(4)
Kepada Tersangka diberitahukan tentang apa yang disangkakan kepadanya dengan jelas dan dalam bahasa yang dimengerti.
(5)
Tersangka berhak didampingi penerjemah dalam hal tidak mengerti bahasa Indonesia.
(6)
Dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, Penyidik Pajak dapat meminta bantuan tenaga ahli.
(7)
Hasil pemeriksaan Tersangka, Saksi, serta keterangan Ahli dituangkan dalam berita acara pemeriksaan.
Pasal 17
(1)
Dalam hal Tersangka atau Saksi dikhawatirkan akan meninggalkan wilayah Indonesia, Penyidik Pajak segera meminta bantuan Kejaksaan Agung untuk melakukan pencegahan.
(2)
Jika Saksi diperkirakan tidak dapat hadir pada saat persidangan, pemeriksaan terhadapnya dilakukan setelah terlebih dahulu diambil sumpahnya oleh Penyidik Pajak.
Pasal 18
Dalam hal Tersangka dikhawatirkan akan melarikan diri, merusak, atau menghilangkan barang bukti, Penyidik pajak dapat meminta bantuan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia agar dilakukan penangkapan dan atau penahanan terhadap Tersangka.
Pasal 19
Laporan Kemajuan Pelaksanaan Penyidikan disampaikan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pasal 20
(1)
Setelah proses penyidikan selesai Penyidik Pajak membuat Berita Acara Pendapat, dalam rangka penyusunan.
(2)
Penyidik Pajak menyerahkan berkas perkara, dan barang bukti kepada Penuntut Umum melalui Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
(3)
Dalam hal berkas perkara dikembalikan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia atau Penuntut Umum, Penyidik Pajak harus segera menyempurnakan dan melengkapi sesuai dengan petunjuknya.
Pasal 21
(1)
Penyidik menghentikan penyidikan dalam hal peristiwanya memenuhi ketentuan Pasal 44A Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000.
(2)
Penyidikan dihentikan atas perintah Jaksa Agung atas kuasa Pasal 44B Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000.
(3)
Penyidik Pajak memberitahukan penghentian penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Jaksa atau penuntut Umum, Tersangka, atau keluarganya melalui Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(4)
Dalam hal penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan dihentikan, Penyidik Pajak menyampaikan laporan kemajuan atau berkas perkara kepada pejabat yang menerbitkan Surat Perintah Penyidikan untuk tindak lanjut penagihan pajak-pajak terutang, kecuali karena peristiwanya telah daluwarsa.
(5)
Penghentian penyidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) baru dapat dilaksanakan setelah mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 22
Dalam hal penghentian penyidikan sebagaimana dimaksud Pasal 21 ayat (2) Penyidik Pajak memberitahukan hal tersebut kepada Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pasal 23
(1)
Administrasi penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan merupakan penata usahaan kegiatan penyidikan, pencatatan, pelaporan dan pendataan, baik untuk kepentingan peradilan, operasional maupun pengawasan.
(2)
Rincian tindakan pelaksanaan, administrasi, bentuk, jenis formulir, dan laporan, serta buku-buku yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan Pengamatan, Pemeriksaan Bukti Permulaan, dan Penyidikan Tindak Pidana Di Bidang Perpajakan diatur lebih lanjut dalam Petunjuk Teknis Penyidikan.
BAB V
PENUTUP
Pasal 24
Dengan ditetapkannya Surat Keputusan ini, Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-02/PJ.7/1990 tanggal 24 Desember 1990 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengamatan, Pemeriksaan Bukti Permulaan, dan Penyidikan Tindak Pidana Di Bidang Perpajakan dan Surat Edaran Nomor : SE-03/PJ.56/1988 tanggal 12 Januari 1988 tentang Pemeriksaan Untuk Tujuan Lain Dalam Rangka Mendapatkan Bukti Permulaan tentang Telah Terjadinya Tindak Pidana Di Bidang Perpajakan dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 25
Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.



Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 17 Mei 2002
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

ttd

HADI POERNOMO

0 komentar:

Posting Komentar

Recent Posts

Blogger templates

Download

Blogger Tricks

Blogger Themes

Diberdayakan oleh Blogger.

Pages - Menu

Blog Translator

Popular Posts