KEPUTUSAN DIREKTUR
JENDERAL PAJAK
NOMOR KEP - 272/PJ/2002
TENTANG
PETUNJUK PELAKSANAAN PENGAMATAN, PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN, DAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
Menimbang :NOMOR KEP - 272/PJ/2002
TENTANG
PETUNJUK PELAKSANAAN PENGAMATAN, PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN, DAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
bahwa sehubungan dengan adanya
perubahan undang-undang perpajakan, untuk memberikan arahan kerja,
keseragaman dan kelancaran proses tindakan, keseragaman penyelenggaraan
administrasi, serta untuk memperjelas kaitan antara kegiatan
Pengamatan, Pemeriksaan Bukti Permulaan, dan Penyidikan tindak pidana
di bidang perpajakan, dipandang perlu mengatur kembali Petunjuk
Pelaksanaan Pengamatan, Pemeriksaan Bukti Permulaan, dan Penyidikan
Tindak Pidana Di Bidang Perpajakan dengan keputusan Direktur Jenderal
Pajak;
Mengingat :- Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3984);
- Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209);
- Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 36, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3258) dan peraturan-peraturan pelaksanaannya;
- Fatwa Ketua Mahkamah Agung Nomor : KMA/114/IV/1990 tanggal 7 April 1990 tentang Penyerahan Hasil Penyidikan PPNS kepada Penuntut Umum;
- Surat Keputusan Menteri Kehakiman Nomor : M.14-PW.07.03 Tahun 1983 tanggal 10 Desember 1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana;
- Surat Keputusan Menteri Kehakiman Nomor : M.04.PW.07.03 Tahun 1984 tanggal 27 September 1984 tentang Wewenang Penyidik Pegawai Negeri Sipil;
- Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 545/KMK.04/2000 tanggal 22 Desember 2000 tentang Tata Cara Pemeriksaan di Bidang Perpajakan;
- Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 443/KMK.01/2001 tanggal 23 Juli 2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak, Kantor Pelayanan Pajak, Kantor Pelayanan Pajak Bumi Dan Bangunan, Kantor Pemeriksaan Dan Penyidikan Pajak, Dan Kantor Penyuluhan Dan Pengamatan Potensi Perpajakan;
- Surat Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-18/PJ/1995 tanggal 23 Pebruari 1995 tentang Tata Cara Penyegelan Dalam Rangka Pemeriksaan Di Bidang Perpajakan;
- Surat Keputusan Kepala Kepolisian Negara Nomor Pol. : Skep/1205/IX/2000 tanggal 11 September 2000 tentang Revisi Himpunan Juklak Dan Juknis Proses Penyidikan Tindak Pidana;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PENGAMATAN, PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN,
DAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Keputusan ini,
yang dimaksud
dengan :
- Pengamatan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pengamat untuk mencocokkan data, informasi, laporan, dan atau pengaduan dengan fakta, dan membahas serta mengembangkan data, informasi, laporan, dan atau pengaduan tersebut untuk memperoleh petunjuk adanya dugaan telah terjadi tindak pidana di bidang perpajakan.
- Pengamat adalah Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang ditugaskan untuk melakukan Pengamatan.
- Laporan Pengamatan adalah laporan hasil pengamatan.
- Bukti Permulaan adalah keadaan, perbuatan, dan atau bukti-bukti lain baik berupa keterangan, tulisan, atau benda-benda yang dapat memberikan petunjuk adanya dugaan kuat bahwa sedang atau telah terjadi suatu tindak pidana di bidang perpajakan yang dilakukan oleh siapa saja yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.
- Pemeriksaan Bukti Permulaan adalah Pemeriksaan Pajak untuk mendapatkan bukti permulaan tentang adanya dugaan telah terjadinya tindak pidana di bidang perpajakan.
- Pemeriksa Bukti Permulaan adalah pemeriksa pajak yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk melakukan pemeriksaan bukti permulaan atas perintahnya.
- Laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan adalah laporan hasil pemeriksaan pajak yang memuat bukti permulaan tentang adanya dugaan kuat terjadinya tindak pidana di bidang perpajakan.
- Penyidik Pajak adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak, yang diberi wewenang khusus sebagai Penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
- Penyidikan tidak pidana di bidang perpajakan adalah serangkaian tindakan Penyidik Pajak untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan yang terjadi dan guna menemukan Tersangkanya, serta mengetahui besarnya kerugian pada pendapatan negara.
- Bahan bukti adalah benda berupa buku, catatan, dokumen, atau benda lainnya yang menjadi dasar dan atau sarana pembukuan, pencatatan, atau pembuatan dokumen lainnya yang berhubungan langsung maupun tidak langsung dengan usaha atau pekerjaan wajib pajak atau orang lain untuk diduga melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.
- Penggeledahan adalah tindakan Penyidik Pajak untuk melakukan pemeriksaan tempat atau ruangan tertentu untuk mendapatkan bahan bukti dalam rangka tindakan Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.
- Penyitaan adalah serangkaian tindakan Penyidik Pajak untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya bahan bukti untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan peradilan.
- Barang bukti adalah bahan bukti yang telah disortir menurut macam, jenis, maupun jumlahnya, yang dapat digunakan sebagai sarana pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan peradilan.
- Pemeriksaan Tersangka atau saksi adalah serangkaian tindakan Penyidik Pajak untuk mendapatkan keterangan, kejelasan, dan kecocokan tersangka dan atau saksi dan atau barang bukti maupun tentang unsur-unsur tindak pidana di bidang perpajakan yang telah terjadi, sehingga kedudukan atau peranan seseorang, barang bukti, maupun unsur-unsur tindak pidana di bidang perpajakan menjadi jelas.
- Tersangka adalah setiap orang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan, patut diduga sebagai pelaku tindak pidana di bidang perpajakan.
- Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan, termasuk pemungut pajak atau pemotong pajak tertentu.
- Badan adalah sekumpulan dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik Negara atau Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi yang sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap, dan bentuk badan lainnya.
- Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana di bidang perpajakan yang didengar sendiri, dilihat sendiri, dan atau dialami sendiri.
- Ahli adalah seseorang yang memiliki keahlian khusus yang dapat memberikan keterangan tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana di bidang perpajakan, guna kepentingan Penyidikan, penuntutan, dan peradilan.
- Pejabat yang berwenang adalah Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang menduduki jabatan struktural sebagai Direktur Pemeriksaan, Penyidikan Dan Penagihan Pajak atau Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pemeriksaan Dan Penyidikan Pajak yang mendapat wewenang dari Direktur Jenderal Pajak untuk menerbitkan dan menandatangani Surat Perintah Pengamatan, Surat Perintah Pemeriksaan Pajak, dan khusus untuk Surat Perintah Penyidikan ditandatangani oleh pejabat yang berwenang yang berstatus sebagai penyidik pegawai negeri sipil.
BAB II
PENGAMATAN
PENGAMATAN
Pasal 2
(1) |
Setiap data, informasi, laporan,
dan atau pengaduan yang diterima atau ditemukan harus dianalisis dan
dinilai terlebih dahulu mengenai mutu dan bobotnya untuk ditentukan
perlu tidaknya dilakukan pengamatan.
|
(2) |
Pengamatan dilaksanakan oleh
Pengamat dengan Surat Perintah Pengamatan yang ditandatangani oleh
pejabat yang berwenang berdasarkan hasil analisis sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1).
|
(3) |
Dalam melaksanakan Pengamatan,
Pengamat harus berusaha memperoleh tambahan bahan bukti mengenai segala
sesuatu yang berkaitan dengan data, informasi, laporan, dan atau
pengaduan yang diperoleh.
|
Pasal 3
(1) |
Dalam melaksanakan tugasnya,
Pengamat dapat meminta keterangan dari pihak ketiga untuk menambah dan
melengkapi data, informasi, laporan dan atau pengaduan yang telah ada.
|
(2) |
Pengamat dilarang menjanjikan
sesuatu kepada pemberi data atau informasi, pelapor, atau pengadu dan
wajib merahasiakan identitas sumber data, informasi, pelapor, atau
pengadu tersebut.
|
(3) |
Pengamat tidak diperkenankan
menyatakan identitasnya sebagai Pengamat apabila dalam melakukan
Pengamatan mengadakan kontak langsung dengan yang diamati.
|
(4) |
Hasil Pengamatan harus dilaporkan
dalam Laporan Pengamatan.
|
(5) |
Laporan Pengamatan dapat
digunakan sebagai dasar untuk dilakukannya Pemeriksaan atau Pemeriksaan
Bukti Permulaan.
|
BAB III
PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN
PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN
Pasal 4
(1) |
Pemeriksaan Bukti Permulaan dapat
dilaksanakan berdasarkan hasil analisis data, informasi, laporan,
pengaduan, laporan pengamatan atau laporan pemeriksaan pajak.
|
(2) |
Pemeriksaan Bukti Permulaan
dilaksanakan oleh pemeriksa pajak dengan Surat Perintah Pemeriksaan
Pajak yang ditandatangani oleh pejabat yang berwenang.
|
(3) |
Pemeriksaan Bukti Permulaan dapat
dilaksanakan baik untuk seluruh jenis pajak maupun untuk satu jenis
pajak.
|
(4) |
Pemeriksaan Bukti Permulaan harus
diselesaikan dalam jangka waktu 2 (dua) bulan sejak tanggal Surat
Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan dan dapat diperpanjang untuk
jangka waktu yang disesuaikan dengan keadaan.
|
(5) |
Sepanjang tidak diatur tersendiri
dalam Keputusan ini, tatacara Pemeriksaan Bukti Permulaan dilaksanakan
dengan berpedoman pada Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 545/KMK.04/2000
tanggal 22 Desember 2000 tentang Tata Cara Pemeriksaan di Bidang
Perpajakan dan Keputusan Direktur Jenderal Pajak tentang Pedoman
Pelaksanaan Pemeriksaan Lengkap yang berlaku.
|
Pasal 5
Bahan bukti yang ditemukan dalam
pemeriksaan bukti permulaan yang menimbulkan dugaan kuat tentang
terjadinya tindak pidana di bidang perpajakan dan atau tindak pidana
umum yang dilakukan oleh wajib pajak yang sedang diperiksa, dan atau
oleh pihak lain yang berkaitan dengan wajib pajak, harus diamankan oleh
Pemeriksa.
Pasal 6
(1) |
Hasil Pemeriksaan Bukti Permulaan
harus dilaporkan dalam Laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan.
|
(2) |
Laporan Pemeriksaan Bukti
Permulaan berisi hal-hal yang meliputi posisi kasus, modus operandi,
uraian perbuatan yang memenuhi unsur-unsur pidana di bidang perpajakan
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2000, penghitungan besarnya kerugian pada pendapatan
negara, rincian macam dan jenis bahan bukti yang diperoleh, nama dan
identitas Tersangka atau para Tersangka, para Saksi, serta kesimpulan
atau pendapat dan usul Pemeriksa.
|
(3) |
Laporan Pemeriksaan Bukti
Permulaan disampaikan kepada Pejabat yang berwenang yang menerbitkan
Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan.
|
(4) |
Laporan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (3) diusulkan kepada Direktur Pemeriksaan, Penyidikan dan
Penagihan Pajak untuk penentuan tindak lanjutnya.
|
(5) |
Laporan bukti permulaan dapat
digunakan sebagai dasar penerbitan surat ketetapan dan atau penyidikan
pajak dan atau pembuatan laporan pengaduan adanya tindak pidana umum
kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia.
|
(6) |
Laporan bukti permulaan yang
mengandung unsur adanya tindak pidana umum akan diatur lebih lanjut
dalam Petunjuk Teknis.
|
BAB IV
PENYIDIKAN
PENYIDIKAN
Pasal 7
(1) |
Penyidikan tindak pidana di
bidang perpajakan dilakukan oleh Penyidik Pajak berdasarkan Surat
Perintah Penyidikan.
|
(2) |
Saat dimulainya Penyidikan adalah
pada saat disampaikannya Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan
kepada Jaksa atau Penuntut Umum melalui Kepolisian Negara Republik
Indonesia dan kepada Tersangka.
|
(3) |
Penyidikan pajak dilakukan
berdasarkan hasil pemeriksaan bukti permulaan.
|
Pasal 8
(1) |
Dalam melakukan Penyidikan,
Penyidik Pajak wajib memperhatikan asas-asas hukum yang berlaku,
termasuk:
|
|
|
(2) |
Pada tahap pemeriksaan dalam
proses penyidikan, setiap Tersangka perkara tindak pidana di bidang
perpajakan dapat didampingi penasehat hukumnya.
|
(3) |
Dalam hal diperlukan penangkapan
dan atau penahanan, dilakukan dengan bantuan Kepolisian Negara Republik
Indonesia.
|
Pasal 9
(1) |
Dalam melakukan tugasnya,
Penyidik Pajak harus berlandaskan pada undang-undang hukum acara
pidana, hukum pidana dan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan yang berlaku.
|
(2) |
Untuk melindungi bahan bukti yang
ditemukan dalam proses penyidikan, Penyidik Pajak berwenang untuk
melakukan tindakan penyegelan sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
|
(3) |
Dalam melakukan tugasnya : |
|
Pasal 10
(1) |
Instruksi untuk melakukan
penyidikan pajak diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak berdasarkan
Laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan.
|
(2) |
Surat Perintah Penyidikan
ditandatangani oleh Pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud Pasal 1
angka 20, berdasarkan Instruksi Penyidikan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1).
|
Pasal 11
Penyidik Pajak wajib memberitahukan
secara tertulis saat dimulainya Penyidikan dan menyampaikan hasil
Penyidikannya kepada Jaksa atau Penuntut Umum melalui penyidik
Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai ketentuan yang berlaku.
Pasal 12
(1) |
Penyidik Pajak dalam melakukan
penggeledahan dan atau penyitaan harus terlebih dahulu mendapat izin
tertulis Ketua Pengadilan Negeri setempat dan harus berdasarkan Surat
Perintah Penggeledahan dan atau Penyitaan dari pejabat yang berwenang
selaku Penyidik.
|
(2) |
Penyidik Pajak yang melakukan
penggeledahan dan atau penyitaan harus membuat berita acara dalam waktu
2 (dua) hari setelah melakukan penggeledahan dan atau penyitaan, dan
tindasannya disampaikan kepada pihak atau wakil atau kuasa atau pegawai
dari pihak yang menguasai tempat yang digeledah dan atau bahan bukti
yang disita.
|
(3) |
Tindasan berita acara sebagaimana
tersebut dalam ayat (2) yang dilengkapi daftar rincian bahan bukti yang
disita diserahkan dengan bukti penerimaan.
|
(4) |
Penggeledahan dan penyitaan yang
dilakukan oleh Penyidik Pajak harus disaksikan sekurang-kurangnya oleh
2 (dua) orang saksi.
|
Pasal 13
Dalam keadaan yang sangat perlu dan
mendesak, apabila Penyidik Pajak harus segera bertindak dan tidak
mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, Penyidik Pajak
dapat melakukan penggeledahan dan atau penyitaan atas benda-benda yang
berkaitan dengan tindak pidana di bidang perpajakan dengan kewajiban
segera melaporkan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat guna
memperoleh persetujuannya, selambat-lambatnya 2 (dua) hari setelah
pelaksanaan penggeledahan dan atau penyitaan.
Pasal 14
Prosedur dan tatacara pengurusan barang
bukti yang disita diatur lebih lanjut dalam Petunjuk Teknis Penyidikan.
Pasal 15
(1) |
Pemanggilan tersangka atau saksi
oleh Penyidik Pajak dalam rangka pemeriksaan untuk menambah atau
melengkapi petunjuk dan bukti yang ada dilakukan dengan surat panggilan
yang sah.
|
(2) |
Surat panggilan harus sudah
diterima oleh yang dipanggil selambat-lambatnya tiga hari sebelum
tanggal hadir yang ditentukan.
|
(3) |
Dalam hal seseorang yang
dipanggil tidak ada ditempat atau menolak untuk menerima, surat
panggilan tersebut dapat disampaikan kepada keluarganya atau Ketua
Rukun Tetangga atau Ketua Rukun Warga atau Ketua Lingkungan atau Kepala
Desa atau orang lain yang dapat menjamin bahwa surat panggilan tersebut
akan disampaikan kepada yang bersangkutan, dengan disertai tanda terima.
|
(4) |
Terhadap tersangka atau saksi
yang tidak memenuhi panggilan tanpa alasan yang patut dan wajar,
kepadanya diterbitkan dan diberikan surat panggilan kedua.
|
(5) |
Dalam hal tersangka atau saksi
yang dipanggil untuk kedua kalinya tetap tidak memenuhi panggilan tanpa
alasan yang patut dan wajar atau tetap menolak untuk menerima dan
menandatangani surat panggilan kedua, Penyidik Pajak dapat meminta
bantuan Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk menghadirkan yang
bersangkutan.
|
Pasal 16
(1) |
Sebelum pemeriksaan terhadap
tersangka dimulai, kepadanya diberitahukan hak tersangka untuk
mendapatkan bantuan hukum dari penasihat hukumnya.
|
(2) |
Penasehat hukum dapat mengikuti
jalannya pemeriksaan pada saat Penyidik Pajak melakukan pemeriksaan
terhadap tersangka dengan cara melihat atau mendengarkan pemeriksaan.
|
(3) |
Tersangka atau Saksi yang
diperiksa harus dalam keadaan sehat jasmani dan rohani.
|
(4) |
Kepada Tersangka diberitahukan
tentang apa yang disangkakan kepadanya dengan jelas dan dalam bahasa
yang dimengerti.
|
(5) |
Tersangka berhak didampingi
penerjemah dalam hal tidak mengerti bahasa Indonesia.
|
(6) |
Dalam rangka pelaksanaan tugas
penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, Penyidik Pajak dapat
meminta bantuan tenaga ahli.
|
(7) |
Hasil pemeriksaan Tersangka,
Saksi, serta keterangan Ahli dituangkan dalam berita acara pemeriksaan.
|
Pasal 17
(1) |
Dalam hal Tersangka atau Saksi
dikhawatirkan akan meninggalkan wilayah Indonesia, Penyidik Pajak
segera meminta bantuan Kejaksaan Agung untuk melakukan pencegahan.
|
(2) |
Jika Saksi diperkirakan tidak
dapat hadir pada saat persidangan, pemeriksaan terhadapnya dilakukan
setelah terlebih dahulu diambil sumpahnya oleh Penyidik Pajak.
|
Pasal 18
Dalam hal Tersangka dikhawatirkan akan
melarikan diri, merusak, atau menghilangkan barang bukti, Penyidik
pajak dapat meminta bantuan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia
agar dilakukan penangkapan dan atau penahanan terhadap Tersangka.
Pasal 19
Laporan Kemajuan Pelaksanaan Penyidikan
disampaikan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pasal 20
(1) |
Setelah proses penyidikan selesai
Penyidik Pajak membuat Berita Acara Pendapat, dalam rangka penyusunan.
|
(2) |
Penyidik Pajak menyerahkan berkas
perkara, dan barang bukti kepada Penuntut Umum melalui Penyidik
Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan yang
berlaku.
|
(3) |
Dalam hal berkas perkara
dikembalikan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia atau Penuntut
Umum, Penyidik Pajak harus segera menyempurnakan dan melengkapi sesuai
dengan petunjuknya.
|
Pasal 21
(1) |
Penyidik menghentikan penyidikan
dalam hal peristiwanya memenuhi ketentuan Pasal 44A Undang-Undang Nomor 6
Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2000.
|
(2) |
Penyidikan dihentikan atas
perintah Jaksa Agung atas kuasa Pasal 44B Undang-undang Nomor 6
Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2000.
|
(3) |
Penyidik Pajak memberitahukan
penghentian penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Jaksa
atau penuntut Umum, Tersangka, atau keluarganya melalui Penyidik
Kepolisian Negara Republik Indonesia.
|
(4) |
Dalam hal penyidikan tindak
pidana di bidang perpajakan dihentikan, Penyidik Pajak menyampaikan
laporan kemajuan atau berkas perkara kepada pejabat yang menerbitkan
Surat Perintah Penyidikan untuk tindak lanjut penagihan pajak-pajak
terutang, kecuali karena peristiwanya telah daluwarsa.
|
(5) |
Penghentian penyidikan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) baru dapat dilaksanakan setelah
mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak.
|
Pasal 22
Dalam hal penghentian penyidikan
sebagaimana dimaksud Pasal 21 ayat (2) Penyidik Pajak memberitahukan
hal tersebut kepada Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pasal 23
(1) |
Administrasi penyidikan tindak
pidana di bidang perpajakan merupakan penata usahaan kegiatan
penyidikan, pencatatan, pelaporan dan pendataan, baik untuk kepentingan
peradilan, operasional maupun pengawasan.
|
(2) |
Rincian tindakan pelaksanaan,
administrasi, bentuk, jenis formulir, dan laporan, serta buku-buku yang
diperlukan untuk melaksanakan kegiatan Pengamatan, Pemeriksaan Bukti
Permulaan, dan Penyidikan Tindak Pidana Di Bidang Perpajakan diatur
lebih lanjut dalam Petunjuk Teknis Penyidikan.
|
BAB V
PENUTUP
PENUTUP
Pasal 24
Dengan ditetapkannya Surat Keputusan
ini, Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-02/PJ.7/1990
tanggal 24 Desember 1990 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengamatan,
Pemeriksaan Bukti Permulaan, dan Penyidikan Tindak Pidana Di Bidang
Perpajakan dan Surat Edaran Nomor : SE-03/PJ.56/1988
tanggal 12 Januari 1988 tentang Pemeriksaan Untuk Tujuan Lain Dalam
Rangka Mendapatkan Bukti Permulaan tentang Telah Terjadinya Tindak
Pidana Di Bidang Perpajakan dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 25
Keputusan ini berlaku sejak tanggal
ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 17 Mei 2002
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
ttd
HADI POERNOMO
0 komentar:
Posting Komentar